Kepada kau yang menyandang gelar bunga revolusi, ini surat mesrah dariku, semoga romantis bagimu.
Pada waktu yang berbeda, aku ingin bersenggama dengan sepi, kemudian mencarimu diantara diksi.
Mungkin kau sedang bersenandung rindu, ataukah sedang berkerudung belati bertopeng kasih.
Di waktu yang sama, aku ingin memelukmu erat dalam puisi. Mengeploitasi jarak yang semakin rentan menjelma masa lalu. Sembari menggandeng tanganmu, aku denganmu melegitamasi perjuangan di belantara duka.
Duhai kasih, jika esok kau menemukanku berdiri di atas mimbar orasi, kuharap kau mengulurkan tanganmu dengan ikhlas. Membakar teriakan, meneteskan keringat pengorbanan dengan cinta. Ataukah mungkin kau menyaksikan tubuhku berwajah lusuh, meringis, menggila, marah, tersenyum bahkan tertawa di panggung teater, bukan berarti aku melupakanmu. Melainkan jiwaku sedang mekar dan berdendang di atas kuncup-kuncup kebencian. Merawat benih keabadian. Kelak esok kita tak saling melupa.
Satu hal yang belum kau tau, bahwa di awal pertemuan kita yang saling mengenal. Sesungguhnya di balik ketenaran dan keramaian, aku menemukan revolusi di balik senyum yang kau suguhkan di lapang mataku.
Sungguh tragedi yang belum pernah kutemui dalam sejarah nafasku, aku terjatuh ke dasar khayalku dan menjadikanku enggan melupakannya. Ketahuilah, jika itu adalah akar dari realisasi nilai-nilai kemanusiaan. Do’aku akan menggema di riuknya kebodohan. Kelak peradaban adalah masa depan kita.
Kekasihku, aku ingin membawamu pulang ke pelukan ibu. Menuai restu dan harapan orang-orang disekitarnya. Aku akan bicara, bahwa kelahiranku akan pulang dengan kemenangan. Karena kita bukanlah pecundang dalam kelana yang melupa kebenaran.
Duhai kasih, aku bukan sekedar penikmat metafora. Di sini kita sedang berada di balik pertanyaan mereka, namun kita dengan tingkatan yang tak sama, sebab tak semua darinya, keluh kesah akan merabah hati mereka. Tapi aku yang bermula darimu dan menjadikanku memikirkan semunya, kuharap kau yang paling mengerti.
Hampir setiap waktu aku hanya mengobatinya dengan menyeruput kopi dan mengecup sebatang rokok, tiada lain hanya untuk menemukanmu. Dengan rayuan sepi, aku berani melawan jenuh dengan membaca buku-buku usang di lemariku. Di saat itu, imajinasiku mulai menari dan meneropong raut wajahmu. Hingga kau bersemayam dalam batin yang tak berlisan.
Ingatlah, bahwa nalarku menderu perlawanan dan memijaki keabadian. Karena bagiku apalah day